Jumat, 04 Juni 2010

5 hal bodoh memanfaatkan uang

JIKA menyangkut
masalah finansial, tidak
sedikit orang berotak
cerdas justru melakukan
hal-hal bodoh dengan
uang mereka. Padahal
untuk mengambil
keputusan cerdas soal
keuangan, Anda hanya
perlu bermain dengan
logika.
Menurut Brad Klontz,
seorang psikolog
finansial, ketika
berurusan dengan
kecerdasan finansial,
ukuran adalah
segalanya. Sisi logis dari
otak Anda jauh lebih
kecil dibandingkan sisi
emosional.
Untuk membuat
keputusan cerdas
tentang uang, Anda
memerlukan sisi logis
yang mendominasi.
Namun, begitu Anda
tergoda oleh
keserakahan atau rasa
takut, maka sisi
emosional yang akan
mengamuk. Nah,
berikut ini adalah di
antaranya:
1. Jatuh cinta dengan
investasi
Jatuh cinta dengan
saham bisa membuat
Anda terjerumus ke
jurang dalam. Menurut
Laura Tarbox,
perencana keuangan di
Newport Beach,
California, tidak sedikit
kliennya yang tetap
bertahan pada
kepemilikan saham
mereka yang
terkonsentrasi, karena
merupakan warisan dari
orang tuanya. Atau,
mereka enggan
menjualnya karena
bekerja di perusahaan
tersebut, dan merasa
tidak loyal jika
melepaskannya.
Di dunia investasi,
hubungan semacam itu
tidak sehat. Tarbox
mengungkapkan,
seseorang dianjurkan
untuk tidak menaruh
lebih dari 10 persen
kekayaannya terkunci
hanya di satu saham.
2. Mengejar fantasi
Kinerja di masa lalu
bukan merupakan
indikasi hasil di masa
yang akan datang.
Sebuah penelitian
ekstensif terhadap data
pasar dalam kurun
waktu 19 tahun,
menemukan bahwa
investor secara
konsisten menuangkan
uang mereka ke dalam
investasi ''panas'', tepat
ketika investasi itu
mulai ''mendingin.''
Menurut Klontz,
kerugian para investor
tersebut disebabkan
oleh kecenderungan
mereka untuk ''berjalan
bersama kawanan.'' Jika
tidak ingin terinjak-injak
kawanan, Anda harus
menyusun strategi
investasi yang sesuai
dengan tujuan Anda
dan konsisten
menjalankannya.
3. Tergoda barang obral
Suatu hari, Anda sedang
berjalan-jalan ke toko
elektronik dan melihat
dua set televisi berbeda
yang dijual seharga Rp
5.000.000,00. Namun,
salah satu televisi itu
tadinya memiliki harga
normal Rp 6.500.000,00.
Nah, televisi mana yang
akan Anda pilih?
Jika Anda berpikir
secara logis, seharusnya
Anda memilih televisi
yang jelas memiliki
review baik. Akan
tetapi, menurut Matt
Wallaert, seorang
konsultan di
LendingTree,
kebanyakan orang akan
memilih televisi yang
sedang diobral itu.
Meski pun di hari biasa
seseorang tidak mau
mengeluarkan uang
sejumlah itu untuk satu
set televisi, ketika
diobral dia merasa
harus membelinya
karena berpikir
harganya lebih murah.
Tak jarang, kita
dibodohi oleh iming-
iming diskon yang
membuat kita terlalu
mudah menghambur-
hamburkan uang, untuk
sesuatu yang
sebenarnya tidak benar-
benar diperlukan.
4. Balas dendam
Anda tidak
membutuhkannya. Anda
juga tidak
menginginkannya. Tapi,
tidak ada seorang pun
yang bisa melarang
Anda untuk memiliki
sesuatu jika Anda mau.
Psikolog New York,
Bonnie Eaker Weil
menyebut hal ini
dengan istilah ''pissed-
off purchases'' (POP).
Weil melakukan sebuah
survei sebelum menulis
buku terbarunya,
'Financial Infidelity', dan
menemukan bahwa
pengeluaran akibat POP
diperkirakan mencapai
US$424 juta setiap
tahunnya.
Belanja sebagai bentuk
pelampiasan dendam
seperti itu, menurut
Weil, bisa terjadi ketika
Anda merasa marah
atau kesal dengan
suami, atasan, ayah,
ibu, atau bahkan teman
sendiri. Akan tetapi,
selega apa pun
perasaan Anda ketika
membelanjakan uang
sebagai pelampiasan
tersebut, hal itu
berdampak buruk
terhadap kesehatan
finansial Anda.
Selain itu, rasa lega tadi
akan dengan cepat
berubah menjadi
penyesalan begitu Anda
tiba di rumah dan
melihat benda-benda
tak berguna yang
harganya merobek
kantong.
5. Terlalu memanjakan
anak
Tidak sedikit orang tua
yang masih
menanggung kebutuhan
hidup anaknya yang
telah dewasa, karena
ingin menjadi orang tua
yang baik. ''Biasanya hal
itu dimulai dengan niat
yang baik. Pada
dasarnya mereka ingin
menjadi orang tua yang
baik,'' jelas Klontz.
Beberapa orang tua
mungkin tidak tega
melihat putra-putri
mereka mengalami
kesulitan finansial dan
membutuhkan bantuan.
Namun, akan menjadi
tidak baik jika hal
tersebut berubah
menjadi ketergantungan
berkelanjutan. Yang
lebih buruk lagi, jika
mereka terpaksa
mengorbankan
simpanan pensiun
mereka dan melepaskan
impian untuk hidup
nyaman karena harus
selalu membayar
tagihan anak tersebut.
Dalam menghadapi
anak yang telah
beranjak dewasa,
nasihat Klontz, Anda
harus memiliki gagasan
yang jelas tentang
sejauh mana bantuan
perlu diberikan, berapa
lama, dan apakah
bantuan itu bisa
membuat anak kembali
berdikari. Jika tidak ada
rencana jelas, itu sama
saja seperti terus
memberikan mereka
ikan, bukannya
pancing. (MI/ICH)

Tidak ada komentar:

5 Makanan Sehat untuk Lansia : Menjaga Kesehatan dan Vitalitas di Masa Tua

Di usia lanjut, menjaga kesehatan dan vitalitas menjadi sangat penting. Salah satu cara yang efektif adalah dengan memperhatikan pola makan....